Indonesia menetapakan standar jumlah siswa 32 siswa per kelas. Hal tersebut berdasar asumsi bahwa dengan semakin sedikit siswa dalam satu rombongan belajar, maka semakin efektif siswa belajar dan guru mengajar. Namun demikian asumsi ini tidak didasari riset. Keputusan ditetapkan berdasarkan asumsi dan pertimbangan guru semakin membagi perhatian yang besar terhadap perkembangan belajar tiap individu.
Keputusan itu berdampak pada tingkat kemahalan biaya pendidikan dan semakin kecilnya peluang siswa untuk bersekolah di sekolah yang memberikan pelayanan belajar yang baik, namun demi untuk menjawab permasalah mutu : maka konsekuensi itu diabaikan?
Gambar pada kelas kecil di Amerika memperlihatkan guru yang bekerja efektif karena dengan beban tugas guru memperhatikan tiap individu lebih kuat.
Namun demikian siswa aktif belajar bukan karena kelas kecil, melainkan karena terpenuhinya standar proses belajar, misalnya, seluruh siswa wajib mengangkat tangan jika guru bertanya. Di samping itu, guru menerapkan strategi belajar siswa aktif. Hal ini dapat terwujud karena guru merangan rencana pembelajaran, menguasi materi pembelajaran dan trampil memotivitasi siswa mendapatakan pengalaman belajar secara aktif.
Masalah yang melekat dalam penentuan jumlah siswa tiap kelas adalah seberapa tinggi pengurangan jumlah siswa terhadap peningkatan efektivitas belajar. Menurut pengalaman di Amerika, ternyata pengurangan hingga 20 siswa kelas belum memberikan manfaat yang seimbang dengan resiko biaya yang harus dikeluarkan.
Karena alasan itu maka tidak semua sekolah bersegera mengurangi jumlah peserta didik pada tiap rombel. Model pembelajaran di Natomas Unified School District in Sacramento USA yang mengelompokkan siswa rata-rata 30 siswa dalam satu kelas.
Mereka membuat kebijakan berdasarkan hasil riset tidak ada perbedaan yang berarti terhadap hasil belajar siswa jika kelas diisi dengan 25 – 30 siswa. Paradigma itu didukung pula dengan hasil riset dan uji coba yang menyatakan bahwa jumlah siswa per kelas berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar jika tiap rombongan belajar antara 17-20 siswa saja. Itu pun apabila guru menggunakan strategi belajar kelas kecil. Jika guru menggunakan strategi mengajar yang sama dengan mengajar di kelas besar, maka hasilnya sama saja. Oleh karena itu menangani pembelajaran di kelas kecil harus dilakukan oleh guru yang terlatih pula dalam menangani kelas kecil (http://www.top-colleges.com/blog/2010/09/08/is-an-increase-in-classroom-size-truly-detrimental-to-student-learning)
Semakin kecil jumlah siswa per kelas semakin mahal biaya pendidikan yang dibutuhkan. Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan efisiensi, maka sekolah di negara maju seperti Amerika tidak mudah pula mereka putuskan untuk mengelola kelas kecil, apalagi tidak semua ahli pendidikan bersepakat bahwa semakin kecil jumlah siswa dalam kelas tidak selalu berdampak makin baiknya mutu belajar siswa.
Gambar ini meperlihatkan jumlah siswa dalam satu kelas di Kunming di Provinsi Yunnan, China. Suasana kelas yang rapih, berdisiplin, dan serius itu diperlihatkan para siswa yang sedang belajar berbahasa Inggris dari seorang native.
Menurut Joseph Kee-Kuok Wong dari University of South Australia dalam jurnal International Education Vol 4, No 4, 2004 pola belajar siswa di China dipengaruhi oleh kultur masyarakatnya. Mereka memiliki tradisi keluarga yang sangat kuat menyerap pengetahuan “secara pasif” Belajar dilalui dengan cara menerima dan menyerap seluruh materi pelajaran dan apa pun yang guru jelaskan. Menurut Joseph dengan bersikap pasif itu, siswa di China justru mereka senang karena dapat belajar dan membangun teori dan meraih pengalaman belajar.
Dengan tipe belajar seperti itu, maka aktif learning bukan satu-satunya pilihan. Anak-anak China menyerap materi pelajaran dalam keadaan tenang, pasif, tetapi efektif menyerap apa yang guru sampaikan. Jumlah siswa sebanyak 60 siswa per kelas tidak menjadi masalah jika guru dapat menguasai kelas dan siswa memilliki disiplin belajar yang baik. Buah dari pembiasaan ini, hasil survei menunjukkan bahwa sebanyak 65% mahasiswa China menyatakan dapat meraih prestasi belajar dengan baik jika mereka belajar mandiri dan hanya mendapat bimbingan sedikit saja dari dosen.
Jumlah siswa dalam tiap rombongan belajar di Jepang secara umum tidak selalu diisi dengan kelas kecil . Reformasi pendidikan yang dilakukan Jepang antara lain menekankan pada berbagai aspek di bawah ini.
Dari penekanan pada peningkatan kemampuan individu berkembang ke arah pengembangan harmoni dan keseragaman. Mereka sangat fokus pada pengembangan kreativitas dengan mengembangkan pengalaman belajar pada banyak kegiatan untuk siswa.
Menekankan pada prinsip life long learning yang akan membawa perubahan dari sistem menghapal ke cara belajar dengan mengembangkan kapasitas belajar kelas tinggi seperti kemampuan berpikir kritis.
Mempersiapkan siswa merencanakan dan mengatas perubahan dan era informasi dan masyarakat global. Jepang sangat fokus pada peningkatan keterampilan siswa agar dapat bersaing dalam persaingan internasional. Langkah penting yang dilakukan oleh pemerintah Jepang adalah mempersiapkan siswa agar memiliki kesiapan komprehensif dalam memahami nilai budaya lain, sejarah, dan nilai-nilai bangsa-bangsa sehingga dapat membantu generasi muda Jepang memahami budaya Internasional.
Dalam rangka mempersiapkan siswa mengatasi perubahan telihat pada gambar di bawah ini. Sekali pun mereka ditimpa musibah tsunami, setelah itu mereka belajar dengan sungguh-sungguh di kelas besar dengan penuh disiplin.
Gambar ini menunjukkan pula bahwa kelas besar bukan hambatan saat dikelola oleh para guru yang dapat bekerja efektif. Dalam kelas besar terdapat sinergi yang besar, terdapat tantangan besar.
Guru yang efektif ternyata dapat mengendalikan kelas sehingga siswa mau dan dapat belajar.
Indonesia menetapkan standar jumlah siswa per kelas yang semakin kecil, namun tidak dengan mempersiapkan guru-guru yang terlatih untuk menangani kelas kecil. Jika ini terus dibiarkan maka yang akan terjadi adalah pendidikan yang semakin mahal namun kurang bermutu karena kelas kecil ditangani dengan strategi menangani kelas besar. Hasilnya akan sama saja, kurang efektif.
Jadi, berapa banyak jumlah siswa yang ideal dalam tiap rombongan belajar? Kelas kecil meningkatkan efektivitas perhatian guru karena dapat mengenali siswa lebih mudah. Kelas kecil membuat tugas administrasi pembelajaran lebih ringan. Namun, kelas kecil tidak berpengaruh langsung pada peningkatan efektivitas belajar siwa. Efektivitasnya ditentukan pula oleh variabel lain yang sama-sama penting, yaitu strategi pembelajaran dan kompetensi guru. Jika di Amerika banyak sekolah menentukan 30 siswa per kelas, China 50 siswa, maka seharusnya Indonesia menetapkan 40 siswa pun sudah lebih baik agar pendidikan tidak terlalu mahal.
Kelas besar tidak jadi masalah di tangan guru yang efektif. Kelas besar juga meningkatkan efisiensi biaya pendidikan. Oleh karena itu, untuk menjawab persoalan biaya pendidikan sebaknya jumlah siswa dalam rombel jangan dibuat terlalu sedikit.(GP)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
-
Apa untungnya perhiasan disepuh dan di lapis?? Dua-duanya menguntungkan, kalau kita menginginkan perhiasan murah tapi serupa e...
-
Cara yang paling baik untuk akhir kehidupan kita adalah hidup untuk orang lain. Itulah yang saya coba lakukan. John D Rockefeller Hanya pend...
No comments:
Post a Comment