*** Negara Supra-agama ***
oleh: KH Jalaluddin Rakhmat
dikutip dari buku:
"Reformasi Sufistik", hal. 61-64
Masa pemerintahan Mughal, tahun 1500-1600-an, dianggap sebagai zaman
keemasan India. Anak Benua India berhasil dipersatukan secara politik
sebagai sebuah bangsa, dan dikembangkan secara kultural sebagai masyarakat
yang multiagama dan multibudaya. Pada zaman Mughal, untuk pertama kali India
menjadi sebuah pemerintahan yang disentralisasikan. Pemerintah berhasil
membangun India dalam suasana perdamaian, ketertiban, dan stabilitas.
Stabilitas politik dan kemakmuran melahirkan kehidupan budaya yang
menakjubkan. Ilmu, filsafat, dan berbagai kesenian mencapai kemajuan pesat.
Dalam seni rupa dan arsitektur; Kekaisaran Mughal melahirkan sebuah mazhab
unik, Mazhab Mughal. Di sini, gaya Persia-Islam dan gaya India-Hindu berpadu
dalam sintesis yang indah. Salah satu jejak budaya Mughal yang kecantikannya
bertahan ratusan tahun adalah Taj Mahal.
Kebesaran Kekaisaran Mughal tidak dinisbatkan kepada pendirinya Babur,
keturunan Taymur-i Lang, tetapi kepada Akbar, yang memerintah pada tahun
1542-1605. Sejarah mencatat, Akbar sebagai raja Muslim yang berhasil
memerintah sebuah anak benua yang mayoritas beragama Hindu. Ketika ia
meninggal, semua pemeluk agama menangisinya. Ia dikenang sebagai sulthan-i
'adil, Sang Ratu Adil.
Abu al-Fadhl menggambarkan pada kita pemerintahan Akbar serta ideologi yang
mendasarinya dalam tiga jilid 'Ayn-i Akbar dan tiga jilid Akbarnama. Akbar
ternyata seorang raja sufi yang menghabiskan malam dalam bermunajat kepada
Tuhan. Ia mempraktikkan zikir seperti Ya Hu dan Ya Hadi sepanjang malam. Ia
sering berkhalwat, mengasingkan dirinya dari urusan duniawi, untuk beberapa
waktu. Kadang ia pergi ke hutan dengan alasan berburu. Abu al-Fadhl
menggambarkannya, "Ia terus-menerus berburu, tapi secara batiniah berjalan
bersama Tuhan."
Pada tahun 1575, Akbar mendirikan 'Ibadat-khana, rumah ibadat. Di situ semua
agama melakukan dialog antaragama dan intragama. Semua aliran bebas
mengeluarkan pendapatnya. Akbar menghidupkan nonsektarianisme dan
menyerahkan semua agama pada pengadilan akal. Tak mungkin terjadi dialog
antaragama bila setiap agama membuktikan kebenarannya dengan merujuk kitab
sucinya. Akbar percaya, dalam dialog yang terbuka tanpa campur-tangan
kekuasaan, kebenaran akan lahir. Empat tahun kemudian, Akbar meminta Syaikh
Mubarak, seorang yang dikenal sangat alim dan salih, merancang "garis garis
besar haluan negara." Di balik konsep ini terdapat pandangan tentang Ratu
Adil. Keadilan adalah esensi ajaran agama. Keadilan juga sifat Tuhan.
Untuk memerintah dengan adil, raja harus menjadikan akal sebagai
pembimbingnya. Ia tak boleh membeda-bedakan rakyatnya berdasarkan agama atau
keyakinannya. Bila seorang raja sudah mengistimewakan satu golongan
berdasarkan agama, ras, atau aliran - serta meremehkan golongan lain, ia
telah bertindak tidak adil. Yang harus menjadi perhatian raja bukanlah
golongan, tapi kepentingan seluruh bangsa. Untuk itu, ia boleh berijtihad.
Selama tidak bertentangan dengan Alquran, ia dapat saja menetapkan
keputusan-keputusan legal yang bermanfaat bagi rakyat. Ratu Adil tak boleh
terikat pada satu mazhab fikib. "Manusia sejati ialah orang yang menjadikan
keadilan sebagai petunjuk pencarian kebenaran, dan mengambil dan semua
aliran apa saja yang sesuai dengan akal," begitu bunyi dekrit yang disahkan
Akbar. Tujuan pemerintahan adalah menyejahterakan rakyat, terutama rakyat
kecil. Kepada Todar Mal, Menteri Keuangannya, Akbar menegaskan bahwa ibadah
yang paling utama ialah menolong orang lemah.
Pembaharuan Akbar bukan tak mendapat kritik. Para ulama fiqih menentang
dekrit Akbar. Berbagai tuduhan dilemparkan kepadanya: Syi'ah, murtad, Hindu,
pendiri agama baru. Ia dituding Syi'ah karena mempunyai guru dari Persia,
Mir 'Abdul-lathif, seorang yang sangat terbuka. Menurut Abu al-Fadhl,
'Ab-dullathif disebut Syi'ah di India dan Sunni di Persia, karena keluasan
pandangan dan sikapnya yang tidak fanatik. Ia dituduh murtad karena
berpegang pada paham wahdah al-wujud. Ia dianggap Hindu karena mempekerjakan
orang-orang Hindu pada posisi-posisi penting dalam pemerintahan. Ia
dipandang mendirikan agama baru karena menegaskan bahwa untuk memperoleh
kebenaran kita harus bersedia mendengar dan belajar dan semua agama. Ia
memang mendirikan sebuah tarekat, yang disebut tawhid-i ilahi. Ia juga
mengkritik agama yang formalistis dan didasarkan pada taklid. Ia menyebutnya
Islam i majazi wa taqlidi.
Ada yang menduga, Akbar memasuki tarekat karena pengaruh aliran tarekat
Chisytiyyah, yang didirikan Mu'inuddin Chisyti dari Sistan, Iran Timur.
Tarekat Chisytiyyah mengajarkan, kita hanya dapat mendekati Tuhan dengan
berkhidmat tanpa pamrih kepada makhluk Tuhan, apa pun agamanya. Seorang
pengikut Chisytiyyah memulai perjalanannya menuju Tuhan dengan melayani
keperluan orang miskin. Mu'inuddin sendiri mendapat gelar Pembela Orang
Miskin. Kuburannya di Azmer diziarahi oleh ribuan orang Islam dan Hindu.
Boleh jadi, Akbar terpengaruh ajaran Chisytiyyah yang menyatakan bahwa
akhlak yang membuat Tuhan sayang kepada kita ada tiga:
(1) kedermawanan, seperti sungai yang mengalirkan airnya ke mana pun tempat
yang lebih rendah darinya,
(2) kasih-sayang matahari yang memberikan sinarnya kepada semua yang di
bawahnya, besar atau kecil, dan
(3) keramahan, seperti bumi yang bersedia menerima intan dan sampah ke dalam
pelukannya.
Akbar berusaha mewujudkan doktrin ini dalam pemerintahannya. Yang
didirikannya bukan negara agama, tetapi negara supra-agama.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
-
Apa untungnya perhiasan disepuh dan di lapis?? Dua-duanya menguntungkan, kalau kita menginginkan perhiasan murah tapi serupa e...
-
Cara yang paling baik untuk akhir kehidupan kita adalah hidup untuk orang lain. Itulah yang saya coba lakukan. John D Rockefeller Hanya pend...
No comments:
Post a Comment