oleh Eris Kusnadi
April 2007 lalu Toyota Motor Corp mengumumkan perusahaannya telah berhasil mencatat volume penjualan mobil terbesar, mengalahkan penjualan kampiun otomotif nomor 1 di dunia, General Motors (GM).Dalam periode 1 Januari-31 Maret, Toyota berhasil menjual 2.348.000 unit mobil di seluruh dunia. Sementara, pada waktu yang sama, pesaingnya itu hanya menjual 2.260.000 mobil.
Meskipun keberhasilan baru pada skala waktu tiga bulanan, dan baru pertama kali, tapi pertumbuhan produksi mobil Toyota di tahun 2006 terus merangkak secara signifikan dan selisihnya makin tipis dibelakang GM. Sepanjang tahun 2006, produksi global Toyota tumbuh 10% menjadi hampir 9.180.000 juta unit mobil. Jadi, Toyota hanya tertinggal 162.000 mobil. Manajemen GM pantas ketar-ketir kalau perusahaan ini akan mendongkel juga posisinya di kursi raja penjualan tahunan.
Pada akhir 2003 lalu, Toyota menjadi perusahaan Jepang pertama yang mencetak laba tahunan ¥ 1 triliun lebih (¥1,16 triliun = US$ 10,28 miliar). Menurut Fortune laba yang diraup lebih besar ketimbang laba gabungan GM, Ford, Daimler, Chrysler, dan VW Group yang masuk dalam lima besar, marjin Toyota 8,3 kali lebih tinggi dari pada rata-rata industri, meskipun saat itu dalam segi penjualan masih kalah dari GM.
Dulu di awal 1970-an, konsumen di AS melecehkan sedan Toyota sebagai mainan, karena bentuknya yang kotak dan ukurannya yang kecil, kalau pun tak dianggap mainan, citranya tak jauh dari Kijang generasi pertama yang bagai kotak sabun dan kaleng kerupuk, kalah oleh mobil lain bahkan oleh teman Jepang-nya seperti Mitsubishi Colt T120.
Kesuksesannya sekarang pantas dibanggakan dan dirayakan Toyota, karena merupakan hasil kerja berpuluh-puluh tahun dari hanya produsen lokal menjadi perusahaan otomotif terbesar dunia. Menggambarkan kesuksesan Toyota di tataran dunia tidak beda jauh dengan gambaran kisah sukses Kijang yang merebut dan kemudian mendominasi pasar otomotif Indonesia. Padahal elahirannya di tahun 1930-an justru karena keterpurukan yang dialami keluarga pendirinya, keluarga Toyoda. Kunci dari keberhasilan perusahaan ini mengubah keterpurukan menjadi sukses
besar adalah Toyota Production System (TPS), suatu sistem produksi yang dapat dikatakan terbaik karena memiliki efisiensi yang luar biasa.
TPS merupakan cara berpikir Toyota untuk membuat mobil dengan kualitas yang lebih baik, harga reasonable bagi masyarakat luas dan tersedia sesuai permintaan. Filosofi dasarnya adalah kepuasan pelanggan, kualitas bagus, “kaizen” (perbaikan terus-menerus) dan tidak boros.
Sejarah TPS
Berbicara sejarah TPS tidak akan lepas dari penemuan atau munculnya ide-ide penggunaan tools dalam TPS. Tools itu adalah: just-in-time, kanban, jidoka, multi function worker dan standar kerja. TPS merupakan filosofi manufaktur yang dikembangkan TAIICHI OHNO, VP Eksekutif Toyota, ditahun 1950-an yang terinspirasi semangat kaizen. KAIZEN atau penyempurnaan kecil yang terus-menerus telah menjadi evolusi Toyota yang dalam jangka panjang tampak membuahkan hasil yang revolusioner.Praktik kaizen berakar dari ide SAKICHI TOYODA (1867-1930), pendiri group Toyota. Pada 1890, tanpa bantuan pihak ketiga melakukan upaya penyempurnaan mesin pintal varian dari sistem flying shuttle hasil penemuan 150 tahun sebelumnya di Lancashire, Inggris. Dalam jangka waktu 35 tahun, dengan praktik kaizen-nya terhadap temuan pertama ia menyalip kepemimpinan teknologi Eropa selama 150 tahun dengan keberhasilannya menciptakan mesin pintal fully automatic pertama di dunia. Hak patennya dijual ke Platt Brothers, pabrik tekstil terkemuka Lancashire, Inggris. Dimasa ini juga ia menguraikan pemikiran tentang perlunya “sistem menghentikan proses produksi saat ada masalah” atau istilahnya JIDOKA, istilah dalam bahasa Jepang yang berarti otomasi.
Pada tahun 1926 berdiri Toyoda Automatic Loom Works Ltd (sekarang Toyota Industries Co. Ltd.), di bulan September 1933 mengembangkan divisi otomotif. Berkat “gen” kaizen yang diturunkan, perkembangan awalnya begitu cepat sehingga diputuskan menjadi perusahaan independen. Di sini Sakichi Toyoda mengadakan sayembara untuk nama baru perusahaan otomotif yang siap dikibarkannya. Syaratnya: nama itu harus sebuah kata yang sama sekali baru dan gampang disebut. Nama Toyota dipilih karena masih mendekati nama lama, walau tak ada artinya dalam bahasa Jepang (sehingga tak dapat ditulis dalam Hiragana). Toyota juga dianggap lebih hoki ketimbang Toyoda karena penulisannya dalam Katakana terdiri dari 8 goresan kuas (seperti dalam kebudayaan Cina, 8 adalah angka mujur).
Sakichi Toyoda menunjuk putra tertuanya KIICHIRO TOYODA (1894-1952) sebagai bos Toyota Motor Co. Ltd. Sebagai salah satu persiapan, pada awal 1930-an, Kiichiro Toyoda. diutus ke AS mempelajari sistem produksi massal yang dikembangkan Henry Ford (1883-1947). Menyesuaikan diri dengan pasar Jepang yang kecil, Kiichiro Toyoda. yang mewarisi kejeniusan ayahnya menciptakan sistem yang dia namakan JUST-IN-TIME (JIT). JIT merupakan sistem produksi tepat waktu, dimana setiap proses hanya memproduksi sejumlah komponen yang diperlukan pada langkah selanjutnya dalam lini produksi, sesaat sebelum diperlukan dengan tepat waktu .
Pada 1956, Taiichi Ohno ke AS mengunjungi “The Big Three” (GM, Ford, dan Chrysler). Tujuannya, seperti Kiichiro Toyoda untuk menyadap secara selektif teknologi dan praktek terbaik dari industri otomotif yang telah mapan (bukan mendapatkan transfer teknologi langsung sehingga bisa tetap
independen). Yang menarik, ide TPS itu justru bukan berasal dari pengamatannya terhadap pabrik otomotif tersebut. Vice-President Eksekutif Toyota ini mendapatkan inspirasi dari supermarket yang sejak lama telah bertebaran di AS.
Terkesan pada kenyataan betapa konsumen bebas memilih apa dan berapa yang mereka inginkan, timbul idenya mengembangkan PULL SYSTEM. Dalam sistem ini, setiap lini produksi menjadi supermarket bagi lini produksi berikutnya. Setiap lini hanya akan mengganti item yang diperlukan atau dipilih oleh lini berikutnya sehingga sistemnya sangat ramping (secara umum disebut sistem LEAN PRODUCTION). Ia juga menciptakan sistem KANBAN (kartu penanda) untuk pengisian stok komponen atau hasil rakitan yang belum jadi (sub-rakitan).
Untuk menunjang sistem yang perlu akurasi tinggi tersebut, dibentuk jaringan pemasok kelas dunia. Koordinasi erat dengan jaringan pemasok ini memungkinkan sistem inventori JIT yang super-efisien dan efektif. Dan, ketika disertai kemajuan teknologi, dikembangkanlah sistem perakitan super-canggih yang antara lain menggunakan robot.
Namun, yang membuat Toyota “number one” adalah sistem manajemen SDM-nya yang efektif dan efisien, memiliki loyalitas tinggi dan komitmen kuat terhadap kualitas. TPS yang berkembang secara evolusioner di tengah segala kekurangan dan kendala pada dasawarsa awal membuat sistem yang dikembangkan secara organik itu meresap kuat kedalam budaya perusahaan. Dengan kata lain, di Toyota, TPS bukan lagi sekadar sistem produksi melainkan falsafah perusahaan.
Di antara strategi sukses yang ada, sistem lean thinking yang merupakan inti TPS adalah yang paling banyak diimplementasi oleh berbagai industri, bukan hanya produsen otomotif. Inilah strategi yang ditanam Sakichi Toyoda (sang pendiri), diperkaya oleh Kiichiro Toyoda (CEO pertama) dari pengamatannya terhadap sistem produksi massal Ford, dan dikembangkan oleh Taiichi Ohno (VP Eksekutif di era Kiichiro) yang mengambil ide dari supermarket di AS.
TPS dalam praktek - PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) memproduksi sekitar 700 unit mesin Innova perhari di Pabrik Sunter berkat aplikasi TPS. Mesin-mesin itu di ekspor ke negara-negara Asia Pasifik, Afrika, Timur Tengah dan Amerika Latin.Proses produksi dimulai dari tempat menurunkan komponen dari vendor, baik lokal maupun impor (Jepang, China, Thailand). Truk berukuran besar diparkir ditempat yang sudah ditandai. Komponen ini ada yang langsung dikirim ke assembly line, ada pula yang ke divisi machining terlebih dahulu.
Di proses machining, operator dibantu dengan work instruction drawing yang digunakan untuk membandingkan hasil kerja dengan standar. Juga dilengkapi dengan point-point penting apa saja yang harus diperhatikan. Juga standar kerja yang sangat rinci hingga disebutkan tangan mana yang harus bergerak dan langkah apa selanjutnya. Untuk mengontrol kerja operator, setiap kepala team menginspeksi secara diam-diam setiap hari. Sehingga operator mau-tidak-mau harus bekerja sebaik mungkin setiap saat.
Untuk komponen yang penting, pengujian hasil proses machining dilakukan pada setiap unit. Misalkan crankshaft yang diimpor dari RRC. Datang dalam keadaan kasar, crankshaft di proses hingga dianggap siap masuk mesin. Nah, setiap unit harus diperiksa apakah sudah memenuhi syarat dan tidak ada cacat. Bahkan saking telitinya, crankshaft yang dibuat jam 12 siang punya standar berbeda dengan crankshaft yang dibuat 1 jam sebelumnya. Masing-masing punya standar sendiri-sendiri dan bila sesuai, bisa jalan terus. Kalau tidak, disisihkan agar usaha untuk koreksinya lebih kecil.
Di conveyor belt assembly line, setiap operator memeriksa part yang diterimanya. Bila cacat, disisihkan dan diberi catatan. Hasil kerja operator sebelumnya diperiksa. Bila Ok, dia mengerjakan tugasnya dengan cekatan dan terukur, rapi dan sesuai standar. Tidak berlebihan, tidak kurang. Tidak ada gerakan yang tidak perlu dan tidak ada satupun yang bicara. Dan hanya di wilayah kerjanya yang terbatas.
Diatas kepala mereka bergantungan lampu berwarna kuning dan merah. Inilah em>ANDON, istilah lainnya POKAYOKE, yaitu isyarat untuk menunjukkan bahwa di unit itu ada masalah dan butuh bantuan. Bila lampu kuning dinyalakan maka kepala regu akan datang untuk membantu menyelesaikan masalah dimana conveyor belt tetap berjalan. Bila masalah belum juga tuntas, maka lampu merah di nyalakan dan conveyor belt berhenti. Ini adalah prinsip JIDOKA yang juga jadi pilar TPS.
Di ujung assembly line, setiap unit mesin menjalani “test berjalan”. Gelondongan mesin dikirim ke sebuah ruang tertutup . Kemudian ditempeli slang-slang aneka ukuran dan bentuk, yang mengalirkan bahan bakar, pelumas, pendingin, udara dan ekshaus. Sesaat kemudian terdengar deru mesin dan operator melakukan serangkaian tes, sambil memberi tanda telah dicek pada bagian-bagian mesin. Setelah slang-slang dilepas, sebelum dikirim ke tahap selanjutnya, mesin di stempel sebagai tanda lolos uji. Mesin -mesin ini keluar dengan kondisi kering, artinya sudah tidak adalagi pelumas, bensin ataupun air di dalamnya.
Dari sini mesin di packing untuk dikirim ke pabrik perakitan mobil. Dengan TPS yang begitu efisien, teliti dan komprehensif, mesin-mesin Toyota terkenal memiliki kualitas tinggi dan mampu bekerja
bertahun-tahun.
Kualitas tinggi adalah berkat diterapkan Build in Quality (BiQ) dimana diterapkan konsep operator adalah inspector, seperti halnya supermarket operator selanjutnya adalah konsumen yang berhak menerima kualitas dan kuantitas terbaik dari kerja operator sebelumnya dan berhak komplain. Hasilnya kualitas terjaga, perbaikan hanya pada proses awal, bukan di tengah atau di akhir. Kualitas dibangun di dalam proses, bukan melalui repair atau perbaikan di proses selanjutnya. Dan tentu saja ada Standar Operation Procedure yang jelas. Untuk mencapai sasaran harga yang reasonable, Toyota memilih mengurangi pemborosan untuk meningkatkan keuntungan.
Dalam buku The Toyota Way, hasil penelitian Jeffrey K. Liker selama 20 tahun, ada delapan pemborosan yang didentifikasikan Toyota dan selalu terus menerus dicari untuk dikeluarkan dari prosesnya, yaitu: (1) Produksi berlebih (over-production); (2) Waktu menunggu; (3) Transport yang tidak diperlukan; (4) Pemrosesan berlebih (inefficient processes); (5) inventori berlebih, (6) Gerakan yang tidak diperlukan (unnecessary motion); (7) produk defect; (8) Kreativitas karyawan yang tidak digunakan.
Dalam TPS dikenal adanya istilah 3Mu (Muda, Mura, Muri) yang harus dihilangkan. MUDA artinya aktifitas yang mubazir atau tidak memberikan nilai tambah. MURA artinya melakukan pekerjaan tidak sesuai prosedur atau semrawut. MURI artinya bekerja tidak sesuai beban seharusnya. Dalam upaya tersebut juga, Toyota menerapkan prinsip JIT agar tersedianya produk saat dibutuhkan. Artinya Toyota hanya memproduksi barang sesuai kebutuhan, dalam jumlah yang diperlukan dan waktu yang ditentukan. Ini menguntungkan karena menjaga minimum stock, kualitas terjaga, hemat dan motivasi karyawan terjaga.
Kesimpulan: Strategi TPS
Beberapa strategi TPS:
- Hanya membuat barang yang dapat dijual, dengan cara menerapkan konsep:
- Takt Time: standar waktu yang diperlukan untuk membuat satu unit, dari proses material, satu part/bagian, sampai proses assembly sebagai suatu produk.
- Just-in-time: cara produksi dengan menentukan jumlah produksi hanya berdasar jumlah barang yang benar-benar diminta, pada saat ada permintaan dengan tepat waktu.
- Kanban: alat pengontrol produksi dan pengangkutan yang menghindari atau menghilangkan Muda dalam proses produksi serta menggunakan waktu yang tepat waktu.
- Membuat barang yang berkualitas tinggi, dengan cara menerapkan konsep:
- Built in Quality: standar yang harus dilakukan di dalam proses guna mencegah adanya peyimpangan.
- Jidoka: Prinsip men-stop segera produksi abnormal.
- Pokayoke dan Andon. Tindakan pencegahan agar masalah dalam proses dapat diketahui dan ditangani.
- Membuat barang dengan biaya yang lebih murah dengan cara menerapkan konsep:
- Heijunka (leveling of production): me-leveling-kan barang (produk atau part) yang bervariasi, baik dalam jumlah maupun jenisnya
- Produksi Lot: memproduksi barang berdasarkan jenis bahan yang digunakan. Lot adalah besaran dari kumpulan material dan part yang mempunyai tujuan tertentu.
- Standar Kerja: cara kerja atau alat yang menggabungkan perlengkapan mesin, barang, dan manusia, secara baik untuk mencapai proses produksi yang efektif dan efisien.
Butuh waktu 15 tahun untuk menyempurnakan tool yang dikembangkan Ohno. Tahun 1965 Toyota mengejutkan dunia lewat Toyota Corona yang mendapat Deming Award untuk keunggulan kualitasnya, disusul Corolla dan model-model lainnya. Hingga kini, Toyota selalu berada di urutan atas survei kualitas dan penjualannya selalu melesat.
Strategi TPS diatas bukanlah suatu tips untuk menjadi sebesar Toyota. Banyak perusahaan yang meniru praktek manajemen Toyota. Tapi tidak bisa sesukses Toyota, bahkan ada yang gagal. Mereka hanya ikut-ikutan menerapkan teknik atau metode tapi lupa dengan kultur korporasi Toyota yang luar biasa kuat. Namun menerapkan kultur tidak semudah meng”copy-paste” teknik dan metodologi.
Sumber:
- Almahdy, Indra. nd. “JIT dan Toyota Production System”. Dalam Sistem Produksi Tepat Waktu. Unpublished Lecture Article. Jakarta: PSTI - UMB
- Koran Kontan. 2007. “Toyota Akhirnya Mengungguli GM: Kuartal I 2007, Toyota Merajai Penjualan Mobil Seantero Dunia”. Dalam Koran Kontan, 25 April 2007. Jakarta
- Mobilku.com. 21 Maret 2006. “TPS, resep sukses Toyota”. Dalamhttp://www.mobilku.com,
diakses tanggal 1 Mei 2007. - Otogenik.com. 20 Maret 2006. “Catatan Singkat Workshop Sistem Produksi Toyota”. Dalam http://www.otogenik.com, diakses tanggal 1 Mei 2007.
- Sarnianto, Prih. 2004. “Revolusi Toyota Menguasai Dunia”. SWA tanggal 14 Oktober 2004 dalam http://toyota.co.id tanggal 31 December 2004, diakses tanggal 1 Mei 2007.
No comments:
Post a Comment