By Zainal A. Hidayat at 8 April, 2008, 9:16 am
Kemiskinan selalu identik dengan kekurangan dan kesengsaraan. Tapi tidak adakah tanda-tanda kemiskinan demikian pada orang-orang kaya? Jika ukuran kemiskinan adalah kerja keras banting tulang untuk mengais lembaran rupiah, jelas banyak orang kaya mengaku sengsara karena harus memeras ekstra tenaga dan pikiran. Pergi kerja sebelum matahari terbit dan baru pulang menjelang tengah malam. Karena demikian cinta pada uang, tak jarang kantor dijadikan “istri kedua.”
Jika bukan karena kekurangan uang, tak mungkin banyak orang kaya rela tua di jalan ditemani kemacetan. Bukan cuma selalu defisit duit, lazimnya orang miskin, orang kaya juga menerapkan manajemen gali lubang tutup lubang, dan banyak yang dililit utang. Konon utang ini malah sudah menjadi life style. Pengutang dari golongan kaya “tanggung” sudah biasa memajang deretan kartu kredit di dompet. Sedangkan debitor, istilah keren pengutang kelas kakap, malah belum selesai mengukir sejarah hitam BLBI di negeri ini.
Karena gemar membuat utang tadi, membuat orang kaya gampang disergap kesengsaraan. Yang paling ringan diteror-dikejar debt collector, sementara yang sedikit lebih berat harus menginap di hotel prodeo karena tak mampu (mau) bayar utang. Begitulah, ternyata orang kaya selalu kekurangan dan juga dekat dengan kesengsaraan.
Jika direnungkan, tulis Hidayat Nataatmadja (1985), alangkah miskinnya orang-orang kaya itu. Sedemikian miskin sehingga dia akan berusaha menambah kekayaannya dengan jumlah yang luar biasa, misalnya 100 juta per bulan! Kalau dia hanya berhasil menambah kekayaannya dengan 10 juta saja, pasti dia akan mengeluh kemiskinan!
Pejabat publik di negara ini termasuk yang sering berkeluh kesah soal penghasilan mereka. Katanya, gaji yang diberikan negara lebih kecil dibanding yang diterima para eksekutif swasta. Karena merasa “dimiskinkan” negara, lalu mereka meniru jalan orang miskin bodoh. Mereka menjadi maling, istilah resminya yaitu koruptor, di mana pekerjaan utamanya adalah menggasak uang negara. Berangkat dari keluh kesah ini, beberapa bekas menteri, gubernur, bupati, dan anggota legislatif, harus mengakhiri petualangannya di penjara.
“Luxury Fever”
Seperti halnya di negara makmur, barangkali banyak orang kaya di negeri ini juga tidak pernah benar-benar merasa kaya. Sebabnya, orang kaya selalu mengidap –meminjam Robert Frank– “luxury fever”, yaitu sejenis penyakit kekurangan dan kesengsaraan berkelanjutan. Hidup terasa kurang kalau belum menempati rumah paling mewah seperti di iklan hari ini. Dan sengsara manakala melihat teman sekantor sudah memakai mobil keluaran paling baru.
Penyakit atau tepatnya perasaan (yang sebetulnya menghina kemiskinan absolut) tersebut, sejak lama memang telah menguras perhatian psikolog dan ekonom. Di negara makmur secara rutin diadakan survei nasional yang menanyakan kepada responden apakah dengan lebih banyak uang mereka menjadi lebih bahagia? Hasilnya, seperti dikutip The Economist (19 Desember 2006), orang kaya umumnya lebih bahagia dari kaum miskin, akan tetapi penduduk negara kaya tidak lebih bahagia setelah negara mereka lebih makmur. Jepang hari ini jauh lebih baik dibanding pada 1950, namun proporsi yang mengatakan “very happy” tetap konstan. Di Amerika Serikat sama saja, “So many lucky men, restless in the midst of abundance,” tulis majalah tersebut.
Banyak penelitian menemukan bahwa semakin besar kue ekonomi suatu negara memang tak menjamin masyarakatnya semakin bahagia. Headey, Muffel, dan Wooden (2004) menyimpulkan bahwa kebahagiaan individu lebih dipengaruhi lingkungan ekonomi saat ini dibanding persepsi sebelumnya. Sesuatu yang dianggap bernilai tinggi sekarang, ternyata hanya memberikan secuil kebahagiaan ketika berhasil memperolehnya beberapa waktu kemudian.
Ahli psikologi menamakan fenomena demikian dengan istilah “hedonic treadmill.” Ibarat reaksi anak kecil terhadap sebuah mainan baru, demikian pula orang dewasa apabila mendapatkan sesuatu. Kepemilikan atas barang-barang tertentu memberinya kesenangan sesaat, lalu setelah itu semuanya menjadi basi. Hal ini terjadi karena manusia memiliki sifat dasar highly adaptable. Dan di sisi lain, sering memiliki aspirasi menjadi “seperti yang lain.”
Tapi mengapa banyak orang percaya dengan lebih banyak uang akan membeli lebih banyak kebahagiaan (meski tidak pada kenyataannya)? Baucells dan Sarin (2006) mengajukan sebuah model “projection bias” untuk menjawab teka-teki ini. Bias ini menurut mereka disebabkan karena tendensi orang memakai ukuran sekarang (current level) untuk mengalkulasi utiliti yang bisa didapat dari konsumsi di masa depan. Bias tersebut memiliki dua efek; pertama, membuat orang kaya terlampau menaksir tinggi (overrate) kebahagiaan yang akan didapat dari sejumlah uang. Kedua, bias ini menyebabkan terjadinya misalokasi anggaran konsumsi dengan terlalu banyak dipakai pada permulaan horison perencanaan atau terlalu banyak mengonsumsi barang-barang adaptif.
Fungsi Uang
Lalu apa yang bisa dibeli dengan segepok uang di tangan? Pendapat pertama menyatakan: dengan uang siapapun akan terbebas dari kekhawatiran akibat tak punya uang. Di musim hujan, anda tak perlu cemas jika sewaktu-waktu ada genteng bocor sehingga harus membayar tukang.
Sedangkan menurut pandangan kedua, meski uang adalah bukan segala-galanya, tapi pada kenyataannya banyak hal harus diselesaikan dengan uang. Seperti dikutip Gretchen Rubin ekonom Richard Layard mengidentifikasi “the big seven” kebahagiaan yaitu meliputi hubungan keluarga, keadaan keuangan, pekerjaan, komunitas pertemanan, kesehatan, kebebasan, dan nilai-nilai individu. Meski uang hanya salah satu unsur saja, tetapi yang lainnya dipastikan memerlukan uang juga (The Wall Street Journal Online, 6/10/2006).
Dokter hebat dan sayuran segar akan membantu menjaga kesehatan, tapi keduanya perlu dibayar dengan uang. Pergi jalan atau makan untuk meningkatkan jalinan pertemanan juga harus diongkosi dengan uang. Begitupula jika anda bersedekah yang akan memberikan kepuasan batiniah juga harus mengeluarkan uang..
Mengejar Kebahagiaan
Pandangan yang berusaha lebih bijak melihat uang bukan tanpa kegunaan, tapi juga bisa gagal memberikan kebahagiaan jika penggunaannya tak terkendali. Jadi manfaatkan uang untuk mendapatkan hal-hal yang mempromosikan komponen kebahagiaan saja. Profesor Richard Easterlin (2001) mengajukan nasihat agar orang kaya berpikir serius sehingga mampu mengalahkan (self defeating) pengejaran atas segala benda material. Luangkan lebih banyak waktu untuk kegiatan bersama keluarga, teman, dan tetangga.
Sebuah negara juga seharusnya lebih banyak mempromosikan pembangunan dengan mengutamakan tercapainya berbagai komponen kebahagiaan bagi rakyatnya, ketimbang overdosis mengekspos data-data makro ekonomi. Bhutan, adalah negara yang telah lama memperkenalkan model gross national happiness sebagai alternatif untuk mengukur kinerja perekonomian dan tingkat kebahagiaan penduduknya.
Jadi, lebih kaya semestinya lebih bahagia. Inilah tantangan bagi orang-orang kaya Indonesia agar tak terus-menerus merasa miskin di tengah tumpukan orang miskin di negeri ini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
-
Apa untungnya perhiasan disepuh dan di lapis?? Dua-duanya menguntungkan, kalau kita menginginkan perhiasan murah tapi serupa e...
-
Cara yang paling baik untuk akhir kehidupan kita adalah hidup untuk orang lain. Itulah yang saya coba lakukan. John D Rockefeller Hanya pend...
No comments:
Post a Comment