"Wahai para jamaah haji, engkaulah yang berperan sebagai Adam, Ibrahim, dan Hajar dalam konfrontasi antara 'Allah dan setan'. Sebagai akibatnya, engkau sendirilah yang merupakan pahlawan dalam 'pertunjukan' itu" (Dr Ali Syariati).
setiap musim haji tiba. jutaan jamaah haji dari pelbagai negara berkumpul. Sebentar lagi mereka semua akan berbaur menjadi satu dengan saudara-saudara seiman lainnya yang datang dari berbagai penjuru dunia. Mereka akan segera merasakan lezatnya jamuan Allah di Tanah Suci, syahdunya bermunajat di Raudhah, indahnya melantunkan talbiyah, keharuan berkunjung ke makam sang kekasih, Rasulullah SAW, dan merasakan berjuta kebahagiaan lainnya yang sulit terungkapkan lewat kata-kata.
Harapan kita jelas. Selain ingin pula merasakan nikmatnya jamuan Allah di Tanah Suci, kita pun ingin merasakan buah dari ibadah haji itu, yaitu haji mabrur. Haji yang tak sekadar membawa perbaikan bagi diri sendiri, tapi juga perbaikan bagi masyarakat luas.
Haji adalah ibadah yang sangat mulia. Ia merangkai semua aspek ibadah lainnya. Shalat memerlukan kesiapan ruhani dan fisik. Zakat memerlukan kemampuan finansial. Puasa memerlukan kesiapan fisik. Dan, ibadah haji memerlukan semuanya; kesiapan ruhani, fisik, finansial, dan keilmuan, selain ditentukan pula waktu dan tempatnya. Ibadah haji melambangkan puncak "ketangguhan pribadi" dan "ketangguhan sosial". Ibadah haji pun menjadi langkah penyelarasan nyata antara alam idealisme dan praktik; juga penyelarasan antara iman dan Islam.
Ali Syariati dalam bukunya Haji (Pustaka, Bandung: 1983) menyebut ibadah haji sebagai sebuah "pertunjukan akbar". Dalam pertunjukan tersebut ada syarat-syarat yang harus dipenuhi: Allah sebagai sutradaranya, tema yang diproyeksikan adalah aksi dari orang-orang yang terlibat: Adam, Ibrahim, Hajar, Ismail, dan setan adalah pelaku-pelaku utamanya.
Tempatnya meliputi Masjidil Haram, Makkah, Mas'a, Arafat, Masy'ar, dan Mina. Simbol-simbol yang penting adalah Ka'bah, Shafa, Marwa, siang, malam, matahari terbit dan terbenam, berhala-berhala, acara kurban. Pakaian dan make-up-nya adalah ihram dan tahallul (mencukur rambut); dan yang memainkan semua ini adalah para jamaah haji sendiri.
Ia kemudian mengungkapkan, "Wahai para jamaah haji, engkaulah yang berperan sebagai Adam, Ibrahim, dan Hajar dalam konfrontasi antara 'Allah dan setan'. Sebagai akibatnya, engkau sendirilah yang merupakan pahlawan dalam 'pertunjukan' itu".
Karena itu, alangkah ruginya apabila kita gagal dalam pertunjukan yang agung itu. Sangat malu pula andai kita tidak memahami skenario yang telah disusun sutradara. Bila demikian, kata "manistatha'a ilaihi sabiilaa, yang sanggup melaksanakan perjalanan haji" dalam QS 3: 97, tak sekadar sanggup secara fisik dan keuangan, tapi sanggup pula secara keilmuan. Seseorang yang akan berhaji harus menguasai syarat-syarat, rukun, dan makna-makna yang terkandung dalam ibadah haji.
Haji adalah ibadah yang sarat akan lambang dan dalam maknanya. Ka'bah adalah lambang 'kehadiran' Allah. Ketika kita berada di Masjidil Haram, kita bebas menghadap Ka'bah dari arah mana saja. Itulah lambang kehadiran Allah dan bahwa Ia ada "di mana-mana". Fainnama tuwallu fatsamma wajhullahi, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah (QS 2: 115).
Orang yang tawaf, berputar mengelilingi Ka'bah, hakikatnya sedang menanamkan di dalam hatinya tentang kehadiran Allah. Bila nama Allah sudah tertanam di dalam hati, maka di manapun dan kapan pun, kita akan selalu merasakan kehadiran-Nya (ihsan).
Sa'i adalah perlambang. Sa'i itu artinya usaha. Kalau kita mau bersa'i maka kita harus memulainya dari Shafa dan berakhir di Marwah. Shafa itu artinya suci dan Marwah artinya puas atau ideal. Jadi, tatkala kita hendak berusaha, maka awalilah usaha kita dari kesucian, laksanakan dengan penuh kesungguhan, hingga akhirnya kita akan bertemu dengan kepuasan.
Sa'i yang berupa lari-lari kecil bolak-balik tujuh kali antara Shafa dan Marwah mengajarkan kita untuk berusaha sebanyak dan semaksimal mungkin. Tujuh adalah lambang banyak. Kalau kita tidak berhasil dalam usaha, padahal kita telah mengawalinya dengan kesungguhan, maka Allah pasti akan memberikan sesuatu di luar perkiraan kita.
Difirmankan dalam QS Ath Thalaaq ayat 2-3, "Barang siapa bertakwa pada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya".
Kita bisa melihat Siti Hajar, istrinya Ibrahim yang "mencontohkan" ritual Sa'i ini. Dalam kepayahan, ia berlari-lari antara Shafa dan Marwah untuk mencari air, tapi tidak berhasil, walau ia melakukannya sebanyak tujuh kali. Tapi, karena usahanya tersebut bertitik tolak dari shafa, kesucian, maka Allah mengaruniakan kepadanya marwah, kepuasan berupa air bening yang berlimpah.
Melempar Jumrah adalah lambang. Jumrah adalah lambang setan, dan lemparan adalah lambang permusuhan. Jadi, melempar Jumrah melambangkan sebuah janji bahwa mulai saat ini kita akan bermusuhan dengan setan. Tidak akan bekerjasama dengannya dalam bentuk apapun.
Mencium Hajar Aswad adalah lambang. Hajar Aswad melambangkan "tangan Allah". Mencium Hajar Aswad --baik dari dekat maupun dari jauh--melambangkan perjanjian kita dengan "menjabat" Tangan Allah. Seakan-akan kita berkata, "Ya Allah saya berjanji bahwa mulai saat ini saya telah masuk ke dalam lingkaran-Mu, dan tidak akan pernah keluar dari lingkaran-Mu ini".
Begitu pula dengan mikat, wukuf di Arafah, dan ritual-ritual haji lainnya. Semuanya mengandung lambang-lambang yang sarat makna. Karena itu, persiapan menjadi segalanya. Ada sebuah nasihat dari Imam Ja'far As-Shidiq bagi para jamaah calon haji: "Jika engkau berangkat haji, kosongkanlah hatimu dari segala urusan, dan hadapkanlah dirimu sepenuhnya kepada Allah SWT.
Tinggalkan setiap penghalang dan serahkan urusanmu kepada Penciptamu. Bertawakallah kepada-Nya dalam setiap gerak dan diammu. Berserah dirilah kepada semua ketentuan-Nya, semua hukum-Nya, dan semua takdir-Nya. Tinggalkan dunia, kesenangan, dan seluruh makhluk. Keluarlah dari kewajiban yang dibebankan kepadamu dari makhluk. Janganlah bersandar kepada bekal, kendaraan, sahabat, kekuatan, kemudaan dan kekayaanmu.
Buatlah persiapan seakan-akan engkau tidak akan kembali lagi. Bergaullah dengan baik. Jaga waktu-waktu dalam melaksanakan kewajiban yang ditetapkan Allah dan Sunnah Rasulullah SAW, berupa adab, kesabaran, syukur, kasih-sayang, kedermawanan, mendahulukan orang lain sepanjang waktu. Bersihkan dosa-dosamu dengan air taubat yang ikhlas.
Pakailah pakaian kejujuran, kerendahan hari, dan kekhusyukan. Berihramlah dengan meninggalkan segala sesuatu yang menghalangi kamu mengingat Allah. Ber-talbiah-lah kamu dengan menjawab panggilan-Nya dengan ikhlas, suci, dan bersih dalam doa-doa kamu, seraya tetap berpegang pada tali yang kokoh.
Harapannya, dengan lurusnya niat dan sempurnanya persiapan, setiap jamaah haji mampu menepati janjinya di hadapan Allah dengan menerjemahkan lambang-lambang itu setelah kembali ke Tanah Air. Itulah haji mabrur. Semoga. Wallahu a'lam bish-shawab.
No comments:
Post a Comment