Menjadi Lebih baik dan terbaik walaupun buruk dimata orang | Doakan Orang Tua Anda | Sedekahkan harta anda Kepada Fakir Miskin dan Kaum yang tertindas | Hari ini Mungkin kematian menjemput kita tetapi maka dari itu kerjakanlah kebaikan walau di mata manusia tak ada harganya

Friday, January 16, 2009

Ni Made Ayu Widiani Tiga Tahun Tujuh Kafe

Oleh arixs

PEREMPUAN Bali ini, Ni Made Ayu Widiani, memang hebat. Meski sibuk mengurus tiga buah hatinya, Bu Ayu —panggilan akrab istri Teng Wen Jui asal Taiwan— ini masih sempat menyisikan waktu untuk mengelola bisnis food & bavarage-nya yang telah berumur tiga tahun itu. Bahkan, perempuan asal Lalalinggah, Tabanan, ini telah mendulang sukses menekuni usaha kuliner tersebut. Kini usahanya telah berkembang menjadi tujuh kafe.
Rupanya kesehatan menu penting baginya. Tak heran, Bu Ayu senantiasa mengingatkan tiap pengelola usaha makanan peduli dengan kesehatan masyarakat. Perempuan yang pernah meraih gelar juara kedua “Lomba Kreasi Nasi Goreng 2005” di Tiara Dewata Dept. Store ini berpandangan menarik soal gaya hidup sehat.
Menurutnya, gaya hidup tak lepas dari perilaku keseharian, termasuk menjaga keluarga dari ancaman penyakit hewan piaraan.
Usaha makanan yang ia rintis tiga tahun silam, kini telah berkembang lewat kafe yang telah beroperasi di tujuh tempat di Denpasar. Pengusaha yang terbilang sukses menekuni usaha makanan ini menuturkan, kesuksesan tersebut tak lepas dari jiwa dagang yang tertanam dalam dirinya. Ia tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan pedagang. Ia giat terlibat dalam aktivitas orangtuanya, termasuk usaha berdagang es campur.
Ia pilih BLKP (Balai Latihan Keterampilan Pariwisata) sebagai tempat menimba ilmunya. Ia meyakini, talentanya mengembangkan usaha food & baverage bisa kian terasah dengan memilih jurusan perhotelan sekolah tersebut. Ilmu yang ia peroleh dari pendidikan formal dipadu pengalamannya sejak kecil, membuatnya kian tertantang menggeluti bisnis. Tahun 1998, ia dinikahi pria asal Taiwan yang berkecimpung dalam usaha ekspor kepiting. Setelah menikah, semangatnya menjalani hidup wirausaha, terpupuk. Tahun 2003 ia membuka usaha Café Santai.
Mencicipi berbagai jenis hidangan, menjadi kesukaannya sejak muda. Di Taiwan ia kerap berkeliling, mencari restoran yang menyajikan hidangan favoritnya. “Sering naik sepeda motor diantar ibu mertua,” kenangnya. Di tengah kesibukan suami dan dirinya, kini ia menyempatkan terbang ke Taiwan, meski hanya setahun sekali. Di negara ini ia kerap menemukan tempat-tempat bersuasana Bali. “Beberapa hotel dan restoran dibangun dengan menyerap unsur budaya Bali,” katanya.
Es mutiara, menjadi minuman favoritnya selama ia bermukim di negeri yang lebih dingin daripada Indonesia ini. Minuman segar ini, tak bosan-bosannya ia seruput. “Tiap hari, pasti ada waktu buat menikmati hidangan es campur ini,” ujarnya dan menambahkan, rasanya mantap tidak membuat tenggorokan sakit. Sembari menikmatinya, pikiran cerdasnya mengaitkan pesona es mutiara itu dengan jiwa bisnisnya. Ia tertarik menengok dapur pembuatan es cendol ini. Setelah enam bulan belajar membuat dan meracik bahan es, ia mengaku puas dengan hasilnya. “Saya belajar mengolah kacang merah dan selai nanas dari mertua, juga belajar langsung dari salah seorang penjualnya, kenalan suami,” katanya.
Es mutiara telah menjadi usaha tiga generasi keluarga mertuanya. “Santai” yang dalam bahasa Cina berarti keturunan tiga generasi, dipilih menjadi nama kafenya.
“Semua bahan es diolah dengan menggunakan mesin listrik,” jelasnya. Sebagian besar pengolahan makanan di Taiwan menggunakan peralatan listrik, sehingga terjamin kebersihannya. Di Bali, bahan-bahan es campur sering terpajang di tempat terbuka, untuk menarik perhatian. Hal seperti itu tak ia temui di Taiwan. “Menurut para pemilik restoran di sana, bahan makanan atau miuman harus selalu berada di almari pendingin agar tidak cepat rusak dan tetap bersih,” katanya.
Es Mutiara dan Es Puding menjadi menu andalan Café Santai yang ia kelola. Mutiara diimpor dari Taiwan. Bahan lokal yang bergizi tinggi, seperti kacang merah, kacang hijau, buah, dan ubi, turut menjadi isian es campur buatannya. Selain mengandung gizi tinggi, standar kebersihan dan kesehatan menjadi acuannya. Ubi kuning dan ungu diyakini memiliki kandungan zat lebih manis daripada yang putih. Ubi, ia dapatkan dari ladang miliknya. Perawatan tanaman ubi, memakai pupuk alam sehingga kandungan zat kimianya sangat kecil.
Perempuan yang memiliki hobi memasak ini menegaskan, bahan es diolah, tanpa menggunakan bahan pewarna, pemanis dan pengawet. Merah, hijau, hitam, kuning dan ungu, didapat dari warna asli bahan bakunya. Ubi, kacang merah dan kacang hijau yang kaya nutrisi, diolah menggunakan alat modern. “Proses mematangkan tak menghilangkan gizi, berbeda jika melalui proses pematangan dengan merebus. Dalam proses merebus, zat gizi mudah larut dalam air dan menghilang, terbawa uap,” ujar perempuan yang kini tengah mengembangkan usaha restoran dengan beragam menu dari bahan kepiting di Food Point Lantai II Tiara Dewata Denpasar ini.
Ubi, kacang merah dan kacang hijau yang dimatangkan dengan alat khusus ini, memiliki rasa yang berbeda. “Rasa manisnya tetap utuh,” tandasnya. Es puding menawarkan beragam rasa, seperti rasa ubi talas, rasa telur bahkan rasa buah plum.
Orang terkadang rentan akibat sering minum es. Itu disebabkan es batu yang digunakan tak aman bagi kesehatan. Apalagi, bahan pengawet, pewarna, dan pemanis kerap menjadi bahan campuran makanan. Hati kecilnya berharap penjual makanan ikut berpikir tentang kesehatan masyarakat. “Tidak hanya mencari untung,” sarannya.
Bu Ayu membuat es batu sendiri. Es batu dibuat dari air mineral yang sudah mengalami proses penyulingan beberapa kali dan telah diakui aman dikonsumsi oleh Departemen Kesehatan.
Pola hidup sehat pun ia terapkan di lingkungan keluarganya. Pola hidup sehat sehari-hari sangat penting. Apalagi, keluarganya memiliki hewan peliharaan. Anjing dan berbagai jenis burung menjadi penghuni rumahnya. “Anak sulung saya sangat menyukai ayam. Pernah anjing kesayangan anak saya hilang, ia pun sedih lalu jatuh sakit,” kenangnya. Anjing tersebut akhirnya ditemukan setelah ia memasang papan pengumuman yang memuat imbalan hadiah bagi penemunya.
Perempuan ini pun banyak memelihara burung. “Saya tak begitu tahu jenis burungnya, namun jumlahnya cukup banyak di rumah. Sebagian pemberian Bapak dari Tabanan,” akunya. Ia mengatakan keberadaan binatang piaraan tersebut, begitu memberikan hiburan, dan mengaku tak pernah was-was terhadap bahaya penyakitnya. Kuncinya, Bu Ayu dan keluarga rajin menjaga kebersihan dan kesehatan hewan. “Tiap hari, memandikan dan membersihkan kandang. Dokter hewan khusus datang tiap minggu,” pungkasnya. —tin

No comments:

Humanity|Respect|Try To Not Cry