Menjadi Lebih baik dan terbaik walaupun buruk dimata orang | Doakan Orang Tua Anda | Sedekahkan harta anda Kepada Fakir Miskin dan Kaum yang tertindas | Hari ini Mungkin kematian menjemput kita tetapi maka dari itu kerjakanlah kebaikan walau di mata manusia tak ada harganya

Saturday, August 20, 2011

Berguru ke Negeri Cina: Pendidikan Ala Pesantren


Bersama pimpinan 29 PTS se jatim, saya mewakili UNIPDU berkesempatan mengunjungi Negara Cina selama seminggu untuk menyaksikan langsung dinamika pemerintah dan masyarakat di sana yang mampu bertahan bahkan menundukkan gempuran budaya Barat. Banyak pelajaran yang dapat kita petik dari perjalanan singkat tersebut, berikut ini di antaranya.



Guru TK di atas Dosen

Istilah full day school yang biasa menjadi nilai lebih sekolah-sekolah tertentu di sini, tidak dikenal di negeri tirai bambu itu. Karena semua proses belajar mengajar dimulai pukul 06.00 sampai 17.00. Pada jam-jam tersebut anda akan sulit menemukan anak usia sekolah berada di jalanan, sebab anak yang bolos berikut orangtuanya diancam hukuman denda sekaligus kurungan.

Di sana juga tidak ada istilah pulang pagi akibat gurunya rapat atau sedang melayat seperti di sini. Seluruh kalender akademik digariskan oleh kementrian pendidikan secara ketat dengan masa belajar dan musim liburan yang serentak sama. Dampak positif jam belajar yang cukup panjang di sekolah adalah terciptanya ketenangan orangtua beraktivitas, sehingga mereka yang rata-rata bekerja mulai pukul 08.00 sampai 17.00 itu lebih produktif kinerjanya.

Bila di negeri kita, sekolah gratis masih jadi “jualan” kampanye pilkada, di Cina daratan seluruh biaya pendidikan dan buku mulai SD sampai SMP ditanggung pemerintah, baru untuk tingkat SMA, orangtua harus menyediakan dana buat belanja buku-bukunya. Sementara di Macau (daerah otonomi khusus Cina) murid SMA-nya masih memperoleh uang buku kurang lebih 800 ribu rupiah setiap bulan.

Di pihak lain, kesejahteraan para guru dan dosen sangat terjamin. Hanya saja, dalam hal penghargaan pada pendidik, pemerintah Cina memiliki pemikiran yang sangat kontradiktif dengan pola pikir kita. Karena di negeri sosialis tersebut, semakin rendah tingkat pendidikan yang ditangani, semakin tinggi gaji pokoknya. Sebagai misal, dua pendidik masuk di tahun yang sama, yang pertama guru TK dan yang kedua Dosen Universitas, maka guru TK menerima gaji pokok 7 ribu yuan (Rp. 10 jutaan), sedang si dosen hanya menerima 3 ribu yuan.

Menurut narasumber saya, kebijakan itu diambil karena pemerintah memandang betapa pentingnya meletakkan dasar-dasar nilai etika maupun kebangsaan sedini mungkin. Dia mengumpamakan manusia seperti batang pohon katika masih muda yang dapat dibentuk dengan mudah sesuai selera, sehingga masa-masa selanjutnya hanya merupakan penegasan atau penguatan dari ujud yang sudah terbentuk itu. Pertimbangan lainnya, bahwa pada masa-masa tersebut seorang anak sedang butuh-butuhnya pendampingan yang total, maka seorang guru pada usia anak-anak dan remaja (ABG) harus memiliki kesabaran ekstra dan keteladanan khusus sehingga mampu menjadi orangtua sekaligus panutan mereka. Tanpa itu, nilai ketaatan murid pada guru yang telah membudaya, akan kehilangan makna. Kesabaran dan selalu menjaga kepatutan untuk diteladani itulah yang menjadikan gaji mereka lebih tinggi dari dosen.

Adapun untuk pendidikan lanjutan, universitas atau akademi, pemerintah memberi penduduk lokal subsidi 50 persen biaya pendidikan dari biaya seluruhnya yang dikenakan pada mahasiswa asing. Para pengajarnya dituntut untuk sesering mungkin melakukan penelitian agar gajinya meningkat sepadan atau melebihi gaji guru TK tadi. Dampaknya luar biasa. Mahasiswa hampir tidak memiliki waktu luang, karena untuk satu mata kuliah saja, seorang dosen bisa mengajak penelitian lapangan sampai lebih 2 kali. Mengingat penelitian bagai pupuk bagi ilmu pengetahuan, maka bisa dibayangkan betapa pesat kemajuan ilmu di sana.

Bagaimana dengan mahasiswa di Jombang dan Mojokerto atau di wialayah Indonesia lainnya.? Saya tidak sampai hati menilai, lebih-lebih dalam hal pergaulan dan cara berpakaian.

Meski masyarakat Cina tidak mengenal istilah “muhrim” atau “aurat”, para mahasiswa dan mahasiswi di sana sangat menjaga jarak satu sama lain. Dalam hal busana, mahasiswinya berpakaian sangat brukut (tertutup) walau udaranya tidak begitu dingin. Ada anggapan, hanya orang yang kurang berpendidikan yang senang berpakaian terbuka.

Selama di Beijing maupun Senzen saya tidak menemukan mahasiswa berlainan jenis jalan bersama bergandengan sebagaimana di kampus-kampus sini. Di perpustakaan pun mereka mengelompok dengan sendirinya seolah ada sekat antara pria dan wanita. Mereka hindari pacaran karena selain tidak sesuai budaya, juga dinilai hanya buang-buang waktu dan uang saja yang bisa menghambat studinya. Kalaupun saat ini kita melihat di televisi hal yang berbeda dari itu, ketahuilah bahwa yang ditayangkan adalah gaya hidup remaja Hongkong yang sudah terinfiltrasi budaya Barat bukan Cina “aslinya”.



Kota Santri

Dengan begitu besarnya tekad pemerintah Cina untuk menjadikan warganya sebagai sarjana yang berkualitas, maka seluruh mahasiswa harus tinggal di asrama kecuali yang tugas belajar dari instansi pemerintah atau mahasiswa luar negeri. Menariknya bahwa di asrama itu diatur sedemikian rupa sehingga satu kamar yang biasanya terdiri dari duabelas orang (enam dipan susun) berasal dari suku yang berbeda. Dengan demikian para penghuni kamar bisa berdiskusi tentang adat budaya masing-masing sehingga menumbuhkan spirit saling memahami untuk memperkuat persatuan Cina yang sedikitnya terdiri dari 56 suku bangsa.

Menurut penjelasan A Liang (dosen sastra melayu Jinan University yang menjadi narasumber saya), pengasramaan itu dimaksudkan sebagai laboratorium bagi mahasiswa untuk mengenal betapa beragamnya karakter manusia yang kelak akan dihadapi di masyarakat sehingga para sarjananya nanti lebih sigap mengelola dan memimpin mereka dengan sikap tasamuh (toleran)-nya.

Ketika mendengar penjelasan sambil keliling kampus saya merasakan atmosfir pesantren yang sangat kuat bagai di kota santri di tanah air kita ini. Selain itu, tanpa saya sadari di benak saya menerawang jauh ke masa Nabi Muhammad saw. Jangan-jangan pola pendidikan yang sistemik, terstruktur dan penghormatan para murid yang tinggi pada guru di Cinalah yang melatar-belakangi disabdakannya anjuran (hadits) Nabi: "tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina". Wallahu'alam bishshawab. (zaimuddinasad@yahoo.co.id)

sumber: here

No comments:

Humanity|Respect|Try To Not Cry