Menjadi Lebih baik dan terbaik walaupun buruk dimata orang | Doakan Orang Tua Anda | Sedekahkan harta anda Kepada Fakir Miskin dan Kaum yang tertindas | Hari ini Mungkin kematian menjemput kita tetapi maka dari itu kerjakanlah kebaikan walau di mata manusia tak ada harganya

Monday, June 16, 2014

Usaha Sukses Warung Tegal

Cerita sukses mereka para pengusaha warung tegal (warteg) memang bukanlah cerita baru. Mereka akan pulang ke kampung, dari Jakarta membawa mobil mewah dan segepok uang ketika lebaran tiba. Di desanya, mereka sudah bisa dihitung sebagai orang kaya sukses. Namun, siapa sangka dibalik cerita sukses itu ada keringat dan darah yang mengalir. Hidup di ibu kota bukanlah perkara gampang terutama bagi mereka para pendatang. 


Mereka berjuang lama tidak sekedar satu atau dua tahun, "Ya biasa, orang melihat kami ini berhasil dari sisi usaha, tapi lihat saja 20 tahun lalu, kami hidup untuk makan saja sulitnya minta ampun," tutur H Karjo (53), warga Kelurahan Kalinyamat Kulon, Margadana, Kota Tegal. Perkataan bahwa pengusaha warteg bisa jadi hidup berkecukupan memang tidak keliru, bahkan bisa berlebih. Ketika kita bertandang ke rumah H. Karjo, meski dari depan tampak sederhana, di garasi ada mobil- mobil Kijang berjejer.

Bahkan H. Karjo mengaku tengah membangun rumah senilai hampir 1 miliar rupiah. Bukan main untuk mereka yang ukuran orang kampung. Konon, menurut keterangan kerabatnya, dia kini sedang membangun rumah untuk ke enam anaknya. Tentu saja rumah yang bernilai miliaran rupiah ini. Hal lain yang menunjukan setatus suksesnya yaitu keinginan memenuhi nazar yaitu menanggap wayang golek dengan dalang terkenal, Ki Enthus Susmono.

"Sudah, baru saja, dan itu untuk memenuhi nazarnya karena sudah selesai membangunkan rumah untuk enam anaknya. Jadi, dia merasa tidak memiliki beban lagi," kata Asmawi, kerabat H Karjo. Benarkan demikian suksesnya? H Karjo yang didampingi istrinya, Hj Siti Fatimah (44), kelihatan tidak ingin melebih-lebihkan hal tersebut. Kendati demikian, dia mengakui kehidupannya sekarang lebih ringan, tidak punya beban terlalu berat.

Berpakaian sarung dan kaos oblong, ia lebih senang menceritakan masa lalunya. Kisah perjuangan seorang perantau di ibu kota yang kejam. Seingat dia, pertama kali mendaratkan kaki di Jakarta itu pada tahun 1972. Untuk merintis usaha warteg pertama kali jalannya ialah melalui berjualan asongan. Dia kala itu sedang mencari- cari pengalaman."Kalau boleh dibilang, banyak dukanya pada saat itu. Apalagi setelah menjadi pedagang asongan, saya ngenger (ikut) di tempat usaha warteg orang lain," kenangnya. 

Kala itu, H Karjo hanya dibayar Rp 60.000 per bulan. Bahkan, kadang hanya dibayar jam tangan dan topi laken. Itu saja senangnya minta ampun. Hidup merantau dia jalani hingga tahun 1985. Dia kemudian banting setir, bersama istrinya mendirikan warteg kecil-kecilan di wilayah Glodok, Jakarta Barat. "Ya, kami waktu itu biasa tidur menyatu dengan dapur. Bahkan, kalau mau tidur harus mematikan kompor dulu karena lantainya panas. Itu pun warungnya kontrak Rp 60.000 per tahun. Sekarang sampai Rp 9 juta," ujarnya.

Kondisi tersebut dia jalani dari waktu ke waktu. Suka duka menjadi pengusaha warteg telah cukup untuk menjadi bekal mengembangkan usahanya hingga sekarang ini. Berbicara tentang rahasia sukses itu pun cuma satu: ketekunan. Baginya berjuang lama hingga membuka warung sendiri butuh ketekunan untuk belajar dari berbagai tempat. Ia pun sukses mendirikan tiga warteg berbeda, satu yang besar ada di daerah Kemurnian, Jakarta Barat, dan dua lainnya di Glodok.

"Ya, alhamdulillah. Berkat karunia Allah, usaha saya sekarang cukup baik. Kadang-kadang artis juga sempat mampir ke warung saya. Misalnya almarhum Taufik Savalas, Mpok Atik, dan Gogon. Yang penting, prinsip kerja yang baik dan halal," tutur bapak dari enam putra itu. Musim Lebaran bagi H Karjo sekeluarga merupakan waktu yang tepat untuk berkumpul bersama keluarga di kampung.

No comments:

Humanity|Respect|Try To Not Cry