Menjadi Lebih baik dan terbaik walaupun buruk dimata orang | Doakan Orang Tua Anda | Sedekahkan harta anda Kepada Fakir Miskin dan Kaum yang tertindas | Hari ini Mungkin kematian menjemput kita tetapi maka dari itu kerjakanlah kebaikan walau di mata manusia tak ada harganya

Saturday, June 21, 2014

Waspadai Post-Power Syndrome pada Lansia!

Amelia Rusli Asali, dr. Kesehatan Umum
       
Menjalani masa tua dengan bahagia dan sejahtera adalah harapan semua orang. Kondisi ini hanya dapat tercapai apabila orang tersebut merasa sehat secara fisik, mental, dan sosial – merasa dibutuhkan, dicintai, dan merasa memiliki harga diri sehingga tetap dapat berpartisipasi dalam kehidupan walaupun telah memasuki masa pensiun.

Tetapi pada kenyataannya, banyak orang yang mengalami gangguan psikologis saat memasuki masa pensiun. Stres, depresi, tidak bahagia, merasa kehilangan harga diri dan kehormatan merupakan hal – hal yang sering dikeluhkan oleh para lansia dalam memasuki masa pensiun –  dalam istilah medis hal tersebut disebut dengan post-power syndrome.

Apa yang dimaksud dengan Post-Power Syndrome?

Post-Power Syndrome adalah suatu keadaan yang terjadi akibat seseorang hidup dalam kebesaran bayang – bayang masa lalunya (bisa berupa jabatan, karier, kecerdasan, kepemimpinan, atau hal lainnya), dan belum dapat menerima realita yang ada saat ini sehingga menimbulkan gejala – gejala sebagai berikut:

Gangguan fisik: tampak kuyu, terlihat lebih tua, sakit – sakitan.
Gangguan emosional: mudah tersinggung, pemurung, cenderung menarik diri dari pergaulan, tidak suka dibantah.
Gangguan prilaku: pendiam, atau sebaliknya menjadi senang bicara tentang kehebatan dirinya di masa lalu, senang menyerang pendapat orang, tidak mau kalah, dan menunjukkan kemarahan baik di rumah maupun di tempat umum.
Siapakah yang rentan terkena Post-Power Syndrome?

Tidak semua lansia akan mengalami post-power syndrome saat memasuki masa pensiun. Pada umumnya ciri kepribadian yang rentan terhadap post-power syndrome adalah mereka yang senang dihargai dan dihormati orang lain, gila jabatan, dan suka dilayani orang lain – atau biasa disebut orang yang memiliki need of power yang tinggi. Tetapi sebaliknya, orang-orang dengan kepercayaan diri yang kurang kuat, sehingga selalu membutuhkan pengakuan dari orang lain, dan merasa aman melalui jabatannya – saat memasuki masa pensiun pun rentan terkena post power syndrome.



Bagaimana cara mencegahnya?

Ada beberapa nasihat psikologis untuk menghindarkan diri dari post-power syndrome, yakni:

Pada saat melakukan suatu pekerjaan atau sebelum menjabat, perlu disadari bahwa segala sesuatu adalah karunia dari Tuhan termasuk kekusaan dan jabatan.
Kekuasaan itu tidak bersifat permanen sehingga harus mempersiapkan diri apabila suatu waktu kuasa itu lepas, pribadi yang siap akan menjadi pribadi yang lebih tahan dalam menghadapi krisis ini.
Sebaiknya selama memegang jabatan, tidak hanya memikirkan bagaimana cara untuk memertahankan kekuasaan, tetapi memikirkan bagaimana cara untuk melakukan kaderisasi / regenerasi. Penghargaan akan diberikan bukan karena kekuasaan yang dimiliki, tetapi karena telah melakukan suatu regenerasi yang baik.
Perlu selalu ditanamkan bahwa tujuan kekuasaan bukanlah agar kita dihargai oleh orang lain, tetapi supaya kita dapat berbuat lebih banyak bagi kesejahteraan orang lain.
Solusi dalam Menghadapi Penderita

Bagaimanapun juga, mencegah lebih baik daripada mengobati. Tetapi apabila sudah terlanjur menderita Post-power syndrome, maka diperlukan kesabaran dan penerimaan yang luar biasa dari pasangan maupun anggota keluarga yang tinggal serumah.

Hal pertama yang perlu dilakukan adalah pemahaman bahwa penderita tidak sepenuhnya menyadari gejala yang dia alami. Tetapi dengan melawan secara frontal pun bukan merupakan suatu cara yang bijaksana. Lebih baik meminta pihak ketiga, seseorang yang mendapat respek dari yang bersangkutan untuk memberikan nasihat atau melalui kegiatan – kegiatan yang dapat mendekatkan diri kepada Tuhan.
Kedua, sebaiknya belajar untuk menerima penderita apa adanya. Tidak merespons kemarahan dengan hal yang sama. Disarankan agar penderita mempunyai berbagai aktivitas untuk menyalurkan emosi negatif atau ketidakpuasan hidupnya secara lebih konstruktif.
Dukungan lingkungan terdekat, dalam hal ini keluarga, dan kematangan emosi seseorang sangat berpengaruh dalam melewati masa krisis ini. Jika penderita melihat bahwa orang – orang terdekatnya mampu memahami dan mengerti tentang keadaan dirinya atau ketidakmampuannya mencari nafkah, ia akan lebih bisa menerima keadaannya dan lebih mampu untuk berpikir secara dingin. Hal tersebut akan kembali memunculkan kreativitas dan produktivitasnya, walaupun tidak sehebat sebelumnya, sehingga akhirnya penderita dapat menemukan aktualisasi diri yang baru dan melewati masa krisis ini dengan baik.

Sumber :

http://www.angelfire.com/mt/matrix/psikologi.htm#Memahami%20Post-Power%20Syndrome
Santoso, Agus. Peran serta keluarga pada lansia yang mengalami post-power syndrome. Media ners. 2008; 1 – 44.
Wijayanto, Johannes. PHK dan Pensiun Dini Siapa Takut. Jakarta:2005.
Semiun, Yustinus. Kesehatan Mental. Jakarta:2007.

from : http://www.tanyadok.com/kesehatan/waspadai-post-power-syndrome-pada-lansia

No comments:

Humanity|Respect|Try To Not Cry